Rabu, 27 Maret 2013

Cerpen Motivasi


SEPUCUK SURAT DARI IBU KOTA
Cerpen oleh : Imma Khasanah
            Kutepiskan sehelai gorden dari bilik jendelaku, secercah matahari menyilaukan mengernyitkan dahiku..... oh indahnya minggu pagi ini.... dedaunan mulai menghijau, terlihat pergantian musim telah berlalu, dari musim gugur hingga musim semi, menambah kesejukan udara di pagi ini. Terlintas para petani mulai berlalu lalang di samping jendelaku menandakan aktivitas mereka akan bermulai.
             “Marniiii...” tiba – tiba kudengar suara itu memanggilku, tak salah lagi suara merdu nan indah menggelayuti telingaku, membuatku segera bergegas menyambar suara itu. Ibu. kulihat jam menunjukkan pukul 07.00 WIB. Ah masih pagi. Tapi ibu sudah memanggilku, barang tentu untuk membantunya memetik sayur di perkebunan.
“iya ibu” sahutku dan kudekatinya.
 “ayo nduk kita ke kebun, metik – metik kangkung sama wortel, terus kita jual ke pasar, lumayan buat nambah penghasilan.” kata ibu dengan kalimat lugunya.
“Nggih bu” kataku mengiyakan, tanda setuju untuk pergi ke kebun, Di tambah lagi ibu membawa makanan pisang goreng dan teh tubruk anget kesukaanku untuk bekal ke kebun menambah semangatku untuk membantunya bekerja.
            Sesampainya di kebun aku dan ibuku mulai memetik daun kangkung yang masih ranum dan mencabuti wortel yang telah siap untuk di konsumsi. Tiba – tiba ...” aahhh ibuuu” aku teriak karena ketakutan melihat sesosok makhluk bernyawa dan berbulu lebat, tak punya tangan dan kakinya kecil – kecil.bergelayutan di pohon kangkung. Hiii.. seremm.
ada apa to nduk?, teriak – teriak.” Kata ibu mendekatiku, dan ibupun hanya tersenyum manis melihat tingkahku, “itu ulat nduk, ndak papa, ndak gigit” katanya sambil menyingkirkan ulat itu, aku hanya tersipu malu.
            Sejenak kemudian, aku dan ibu istirahat di pematangaan sawah, sambil makan pisang goreng kesukaanku dan minum teh tubruk anget, “Nduk Marni, ibu mau ngomong sama kamu” kata ibu membuka percakapan di sela – sela rehat kami di pematangan sawah, “ nggih bu, ada apa?”jawabku. “gini, kamu sekarang dah dewasa, dah lulus SMA, ibu kalau mau menguliahkan kamu ndak da biaya, ibu sudah kewalahan membiayai adik – adikmu.” Kata ibu memelas, seolah – olah sudah tidak ada harapan lagi untuk menguliahkanku.
            Aku diam sejenak mendengar keluhan ibu terhadapku, rasanya sakit sekali, aku sendiripun hanya bisa berpangku tangan, tanpa bisa membantu memberikan materi untuk biaya adik – adik. Ku urungkan niatku untuk melanjutkan kuliah dan ku tepiskan pula untuk bercita – cita menjadi seorang penulis.
Nggih  bu, Marni ngerti, suatu saat Marni akan bekerja dan membantu menyekolahkan adik – adik.” Kataku untuk menenangkan hati ibu, kupeluk ia erat –erat supaya beban yang menggelayuti pikiran dan tenaganya berkurang sedikit.****
            Senja merona di ufuk barat, sinar matahari juga sudah tak begitu terang, ia sembunyi – sembunyi di balik pegunungan menandakan ingin tenggelam dan berganti waktu, semakin menghilang dan menghilang. Terdengar sayup-sayup azan di sekitar pedesaan, menunjukkan waktu sholat Maghrib telah mulai, terlihat penduduk sekitar desa Sukomakmur berduyun – duyun ke Masjid untuk melaksanakan ibadah shalat Maghrib berjamaah. Tak ketinggalan aku sekeluarga juga turut ke masjid membarengi perjalanan mereka menuju Baitullah. Subhanallah, begitu antusiasnya penduduk untuk beribadah ke masjid. Dari anak – anak,pemuda –pemudi, bapak – bapak, ibu – ibu dan kakek nenek turut ke masjid. Ramai sekali. Meramaikan Masjid untuk syiar Islam juga merupakan tuntunan Rasulullah SAW.
            Sehabis sholat berjamaah, kami makan malam, meskipun hanya dengan nasi tiwul, secobek sambal korek dan tempe goreng telanjang (baca : tidak di balut dengan tepung) tapi terasa nikmat apabila berkumpul dengan keluarga dan merupakan nikmat Allah yang tiada tara yang di berikan pada kami. Kulihat adik – adikku makan dengan lahapnya. Alhamdulillah. Ibu pun merasa tenang dan bahagia, meskipun hanya hidup pas – pasan tapi kebersamaan kan mengubah segalanya. Alhamdulillah Ya Rabb... atas karunia yang kau berikan untuk kami. ****
            Hari – hari ku isi dengan aktivitas di rumah, birrul walidain dan bersantai, itu yang sering ku lakukan, setelah tugas bantu – bantu ibu selesai tinggal bersantai. Yaa... beginilah pengangguran yang belum bisa mendapatkan penghasilan, berharap ada seseorang yang datang memberikanku pekerjaan, terlebih ada sepucuk surat dari kota untuk menawariku pekerjaan. Ah berilusi saja.
            Ku baca – baca koran harian milik tetanggaku yang sudah tebiasa berlangganan dengan koran Berita Indonesia. Yaa.. itung – itung untuk mengisi waktu yang kosong, ku baca – baca halaman perhalaman hingga ku temukan kolom berita, “Lomba menulis karya – karya fiksi”. Haruskah aku mengikuti? Pikiran itu terus berdendang di otakku antara iya atau tidak. Di waktu SMA aku menduduki  jurusan Bahasa, aku sering mengikuti kompetisi – kompetisi tulis menulis dari  kompetisi LKTI (Lomba Karya Tulis Ilmiah) tingkat pelajar sampai menulis karya – karya fiksi dan kompetisi sinopsis serta resensi cerita, gagal ku raih, yang ku ingat hanya  memenangkan menulis puisi dan di muat di salah satu media cetak yang terkenal di seantero Jawa Tengah. Itupun belum cukup bagiku karena dari berbagai macam kompetisi yang ku menangkan hanya satu karya saja, kegagalan demi kegagalan menghantuiku, yang membuatku urung diri untuk tidak mengikuti lomba itu, “Ah pasti gagal lagi!” pikirku. Aku jadi teringat dengan nasihat ibu, “jangan pernah menyerah sebelum kamu  mengalami 1000 kali kegagalan, karena kegagalan adalah kunci kesuksesan”. “hmm..... boleh juga tu, apa salahnya kalau aku coba lagi, kolot sekali apabila berpikir akan gagal lagi,mencoba saja belum sudah bilang gagal.”
            Ku coba menulis dan membuka catatan – catatan SMA yang di berikan Bu Dila guru Bahasa yang sangat menginspirasiku untuk membuat sebuah karya, karena menulis merupakan ilmu yang sangat bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan kita, ku pelajari kembali dan ku pahami cara – cara menulis yang baik yang dapat menarik perhatian public dan yang pasti menghipnotis para pembaca untuk membawa pikirannya ke alam beta. ****
Beberapa minggu kemudian novelku yang berjudul “ASA” telah usai dan siap di kirim ke Jakarta, berharap ada balasan dari sana, bahwa aku pemenangnya, optimisku untuk menyemangati diri ini agar lebih bersemangat, bangkit dari keterpurukan dari berbagai macam kegagalan yang pernah ku alami. “Ibu, Marni minta doa restunya, semoga karya Marni akan lolos” pintaku pada ibu. “Iya nak, ibu pasti mendoakan yang terbaik untukmu dan semoga Allah mengijabahinya nduk”. Kata ibu. “Amin”. ****
            2 minggu kemudian......
Ini adalah saat yang di tunggu – tunggu, moment yang bersejarah tentang pengumuman hasil lomba karya fiksi. Berharap ada balasan surat dari Jakarta.
Setelah sekian lama ku menunggu sudah hampir 5 jam dari jam 06.00 WIB, tak kunjung ada kabar baik dari media cetak maupun elektronik.
Sesaat kemudian ada suara ketuk pintu dari luar, wajahku sumringah seketika, pasti balasan surat dari sayembara itu, aku segera bergegas dan kubuka pintu, hmm..... ternyata seorang tukang koran yang menawarkan korannya ke rumah. Tak apalah. “saya beli satu makasih pak” kataku terhadap pak tukang koran.
            Kubuka koran itu barangkali ada pengumuman di kolom berita.
Hatiku senang ketika kudapati secuil namaku tertulis disitu, tapi sayang namanya tak sesingkat namaku “SUMARNI” melainkan “MARNIta Setyana Oktaviana Kumala Sari”. Ah kukira namaku ternyata Cuma sama nama depannya saja. Ya Allah... aku gagal lagi. Hanya kepasrahan dan kesabaran yang ada di pikiranku. Belum rezekinya.
            Kutrima kegagalan ini kembali, tapi aku yakin ada hikmah dan pelajaran yang dapat kupetik dari semua ini. Pengalaman adalah Guru Terbaik, kita bisa belajar dari kegagalan – kegagalan itu. Dan perlu belajar lebih giat lagi untuk menambal kegagalan - kegagalan sebelumnya.
            Aku teringat sosok bu Dila, guru terfavoritku saat SMA, yang membuatku menyenangi dunia tulis menulis, meskipun berkali – kali gagal tapi rasa suka dengan menulis tak berhenti di sini saja, ku ingin mencobanya kembali dan belajar kembali.
Bismillah... Akhirnya ku tekuni juga belajar menulis dengan bu Dila dan beliaupun siap membantuku. ****
            Hampir setengah tahun aku di rumah, hampa hati ini tanpa ilmu, ingin ku melanjutkan studi kembali dan ku kembangkan bakatku.
Pagi ini aku duduk – duduk di emperan di temani teh tubruk anget bikinan ibunda tercinta. Selang beberapa saat bu Dilla menghampiri ke gubug reotku, tumben sekali ada apa gerangan?
“Assalamu’alaikum,,, Marni” salam bu Dilla terhadapku. “Wa’alaikumsalam Warohmatullahi wabarokatuh” jawabku. “Subhanallah, saya sangat senang sekali ibu bisa bersilaturahim ke rumah Marni. Mari ibu silakan masuk dan silakan duduk”. “makasih ya Marni, maksud kedatangan ibu akan memberikan kabar gembira untukmu.” Kabar gembira apa bu?” tanyaku dengan suasana gembira pula. “begini ada informasi dari Pusbuk (Pusat Perbukuan) Jakarta, ada sayembara menulis karya fiksi, dengan tema “Meningkatkan Kualitas Perbukuan Indonesia dengan Menampilkan Karya – karya Terbaik Anak Bangsa”, bagaimana Marni, kamu tertarik tidak? Saya lihat perkembanganmu menulis semakin pesat dari hari kehari, makanya ibu sempatkan datang kesini untuk memberitahumu, lumayan lho apabila menang dapat beasiswa kuliah S1 di UI bagi lulusan SMA dan beasiswa S2 bagi lulusan sarjana, katanya kamu ingin melanjutkan kuliah, ini saatnya Marni.” Kata – kata bu Dila sangat menginspirasi sekali. Ya inilah saatnya aku  bangkit. “baiklah bu, saya bersedia” kataku bersemangat. “tunjukkan karya terbaikmu!” ****
            2 bulan sudah terlewat, waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan sebuah novel setebal 350 halaman yang berjudul “Sajak Sang Pencari Jejak”. “Alhamdulillah, semoga berhasil” gumamku. Sebelum ku kirim ke Ibukota, sebelumnya ku perlihatkan terlebih dahulu pada Ibu dan bu Guru Dilla, untuk mengoreksinya. “bagus, luar biasa” kata mereka. “InsyaAllah lolos” kata bu Dila, begitupun Ibu tersenyum bangga terhadapku, meskipun belum terlihat hasilnya. “Ibu rela nduk, kalaupun nanti kamu menang, dan melanjutkan kuliah di Jakarta, tapi jangan pernah lupakan keluarga yang di desa” kata ibu. “Iya bu. pasti. nanti kalau Marni sukses, Marni juga ingin menyekolahkan adik – adik sampai sarjana” kataku mantap untuk meyakinkan hati Ibu. Semoga dengan kerja yang maksimal ini menghasilkan hasil yang maksimal pula. Tak henti – hentinya doaku dan Ibu megalir di setiap – setiap sujudnya, berharap Allah mengijabahi.
3 bulan sudah, ku tunggu hasil dari pusat perbukuan Indonesia, banyak pertanyaan yang beriringan di benakku. Berhasil atau gagal lagikah? Lanjut studi kah atau tidak?  Selang beberapa saat. kring... kring... kring, suara bel sepeda terdengar dari luar, seperti bunyi sepedanya pak pos. “permisi” suara dari luar pintu. Setelah kubuka “iya, ada apa pak?” tanyaku. “mbak, ini ada surat panggilan untuk mbak Marni dari Pemerintah Pusat Perbukuan Indonesia supaya menghadiri penyerahan hadiah secara simbolis,sebagai pemenang sayembara menulis buku fiksi ” Kata pak pos panjang lebar. Allahu Akbar, subhanallah, aku segera bersujud kepada Allah,sebagai rasa syukurku, aku tak bisa berkata – kata hanya titikan air mata yang mengalir dan ibu yang di sampingku merasakan bahagia yang tiada tara. “terimakasih pak” kataku di sela – sela isak tangis. “silakan di tanda tangani mbak, sebagai bukti bahwa surat sudah di terima”.****
            Alhamdulillah, akhirnya kubisa melanjutkan study di ibukota tanpa membebani orang tua dan orang tua pun meridhoinya.dan di sela–sela kuliahku, aku juga bekerja di sebuah percetakan buku, lumayan hasilnya ku kirim ke desa setiap bulan untuk biaya sehari–hari dan sekolah adik – adik. Terimakasih Ya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar