SEPUCUK SURAT DARI IBU KOTA
Cerpen oleh : Imma Khasanah
Kutepiskan sehelai
gorden dari bilik jendelaku, secercah matahari menyilaukan mengernyitkan dahiku.....
oh indahnya minggu pagi ini.... dedaunan mulai menghijau, terlihat pergantian
musim telah berlalu, dari musim gugur hingga musim semi, menambah kesejukan
udara di pagi ini. Terlintas para petani mulai berlalu lalang di samping
jendelaku menandakan aktivitas mereka akan bermulai.
“Marniiii...” tiba – tiba kudengar suara itu
memanggilku, tak salah lagi suara merdu nan indah menggelayuti telingaku,
membuatku segera bergegas menyambar suara itu. Ibu. kulihat jam menunjukkan
pukul 07.00 WIB. Ah masih pagi. Tapi ibu sudah memanggilku, barang tentu untuk
membantunya memetik sayur di perkebunan.
“iya ibu” sahutku dan kudekatinya.
“ayo nduk kita ke
kebun, metik – metik kangkung sama wortel, terus kita jual ke pasar, lumayan
buat nambah penghasilan.” kata ibu dengan kalimat lugunya.
“Nggih bu” kataku
mengiyakan, tanda setuju untuk pergi ke kebun, Di tambah lagi ibu membawa
makanan pisang goreng dan teh tubruk anget kesukaanku untuk bekal ke kebun
menambah semangatku untuk membantunya bekerja.
Sesampainya di
kebun aku dan ibuku mulai memetik daun kangkung yang masih ranum dan mencabuti
wortel yang telah siap untuk di konsumsi. Tiba – tiba ...” aahhh ibuuu” aku
teriak karena ketakutan melihat sesosok makhluk bernyawa dan berbulu lebat, tak
punya tangan dan kakinya kecil – kecil.bergelayutan di pohon kangkung. Hiii..
seremm.
“ada apa to nduk?, teriak – teriak.” Kata ibu mendekatiku,
dan ibupun hanya tersenyum manis melihat tingkahku, “itu ulat nduk, ndak
papa, ndak gigit” katanya sambil menyingkirkan ulat itu, aku hanya tersipu malu.
Sejenak kemudian,
aku dan ibu istirahat di pematangaan sawah, sambil makan pisang goreng
kesukaanku dan minum teh tubruk anget, “Nduk Marni, ibu mau ngomong sama
kamu” kata ibu membuka percakapan di sela – sela rehat kami di pematangan
sawah, “ nggih bu, ada apa?”jawabku. “gini, kamu sekarang dah dewasa,
dah lulus SMA, ibu kalau mau menguliahkan kamu ndak da biaya, ibu sudah
kewalahan membiayai adik – adikmu.” Kata ibu memelas, seolah – olah sudah tidak
ada harapan lagi untuk menguliahkanku.
Aku diam sejenak
mendengar keluhan ibu terhadapku, rasanya sakit sekali, aku sendiripun hanya
bisa berpangku tangan, tanpa bisa membantu memberikan materi untuk biaya adik –
adik. Ku urungkan niatku untuk melanjutkan kuliah dan ku tepiskan pula untuk
bercita – cita menjadi seorang penulis.
“Nggih bu, Marni
ngerti, suatu saat Marni akan bekerja dan membantu menyekolahkan adik – adik.”
Kataku untuk menenangkan hati ibu, kupeluk ia erat –erat supaya beban yang
menggelayuti pikiran dan tenaganya berkurang sedikit.****
Senja merona di
ufuk barat, sinar matahari juga sudah tak begitu terang, ia sembunyi – sembunyi
di balik pegunungan menandakan ingin tenggelam dan berganti waktu, semakin
menghilang dan menghilang. Terdengar sayup-sayup azan di sekitar pedesaan,
menunjukkan waktu sholat Maghrib telah mulai, terlihat penduduk sekitar desa
Sukomakmur berduyun – duyun ke Masjid untuk melaksanakan ibadah shalat Maghrib
berjamaah. Tak ketinggalan aku sekeluarga juga turut ke masjid membarengi
perjalanan mereka menuju Baitullah. Subhanallah, begitu antusiasnya penduduk
untuk beribadah ke masjid. Dari anak – anak,pemuda –pemudi, bapak – bapak, ibu
– ibu dan kakek nenek turut ke masjid. Ramai sekali. Meramaikan Masjid untuk
syiar Islam juga merupakan tuntunan Rasulullah SAW.
Sehabis sholat
berjamaah, kami makan malam, meskipun hanya dengan nasi tiwul, secobek sambal
korek dan tempe goreng telanjang (baca : tidak di balut dengan tepung) tapi
terasa nikmat apabila berkumpul dengan keluarga dan merupakan nikmat Allah yang
tiada tara yang di berikan pada kami. Kulihat adik – adikku makan dengan
lahapnya. Alhamdulillah. Ibu pun merasa tenang dan bahagia, meskipun hanya
hidup pas – pasan tapi kebersamaan kan mengubah segalanya. Alhamdulillah Ya
Rabb... atas karunia yang kau berikan untuk kami. ****
Hari – hari ku isi
dengan aktivitas di rumah, birrul walidain dan bersantai, itu yang sering ku
lakukan, setelah tugas bantu – bantu ibu selesai tinggal bersantai. Yaa...
beginilah pengangguran yang belum bisa mendapatkan penghasilan, berharap ada
seseorang yang datang memberikanku pekerjaan, terlebih ada sepucuk surat dari
kota untuk menawariku pekerjaan. Ah berilusi saja.
Ku baca – baca
koran harian milik tetanggaku yang sudah tebiasa berlangganan dengan koran Berita
Indonesia. Yaa.. itung – itung untuk mengisi waktu yang kosong, ku baca – baca
halaman perhalaman hingga ku temukan kolom berita, “Lomba menulis karya – karya
fiksi”. Haruskah aku mengikuti? Pikiran itu terus berdendang di otakku antara
iya atau tidak. Di waktu SMA aku menduduki
jurusan Bahasa, aku sering mengikuti kompetisi – kompetisi tulis menulis
dari kompetisi LKTI (Lomba Karya Tulis
Ilmiah) tingkat pelajar sampai menulis karya – karya fiksi dan kompetisi
sinopsis serta resensi cerita, gagal ku raih, yang ku ingat hanya memenangkan menulis puisi dan di muat di
salah satu media cetak yang terkenal di seantero Jawa Tengah. Itupun belum
cukup bagiku karena dari berbagai macam kompetisi yang ku menangkan hanya satu
karya saja, kegagalan demi kegagalan menghantuiku, yang membuatku urung diri
untuk tidak mengikuti lomba itu, “Ah pasti gagal lagi!” pikirku. Aku jadi
teringat dengan nasihat ibu, “jangan pernah menyerah sebelum kamu mengalami 1000 kali kegagalan, karena
kegagalan adalah kunci kesuksesan”. “hmm..... boleh juga tu, apa salahnya kalau
aku coba lagi, kolot sekali apabila berpikir akan gagal lagi,mencoba saja belum
sudah bilang gagal.”
Ku coba menulis
dan membuka catatan – catatan SMA yang di berikan Bu Dila guru Bahasa yang
sangat menginspirasiku untuk membuat sebuah karya, karena menulis merupakan
ilmu yang sangat bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan kita, ku pelajari
kembali dan ku pahami cara – cara menulis yang baik yang dapat menarik
perhatian public dan yang pasti menghipnotis para pembaca untuk membawa
pikirannya ke alam beta. ****
Beberapa minggu kemudian novelku yang berjudul “ASA” telah usai dan
siap di kirim ke Jakarta, berharap ada balasan dari sana, bahwa aku
pemenangnya, optimisku untuk menyemangati diri ini agar lebih bersemangat, bangkit
dari keterpurukan dari berbagai macam kegagalan yang pernah ku alami. “Ibu,
Marni minta doa restunya, semoga karya Marni akan lolos” pintaku pada ibu. “Iya
nak, ibu pasti mendoakan yang terbaik untukmu dan semoga Allah mengijabahinya nduk”.
Kata ibu. “Amin”. ****
2 minggu
kemudian......
Ini adalah saat yang di tunggu – tunggu, moment yang bersejarah tentang
pengumuman hasil lomba karya fiksi. Berharap ada balasan surat dari Jakarta.
Setelah sekian lama ku menunggu sudah hampir 5 jam dari jam 06.00
WIB, tak kunjung ada kabar baik dari media cetak maupun elektronik.
Sesaat kemudian ada suara ketuk pintu dari luar, wajahku sumringah
seketika, pasti balasan surat dari sayembara itu, aku segera bergegas dan
kubuka pintu, hmm..... ternyata seorang tukang koran yang menawarkan korannya
ke rumah. Tak apalah. “saya beli satu makasih pak” kataku terhadap pak tukang
koran.
Kubuka koran itu
barangkali ada pengumuman di kolom berita.
Hatiku senang ketika kudapati secuil namaku tertulis disitu, tapi
sayang namanya tak sesingkat namaku “SUMARNI” melainkan “MARNIta Setyana
Oktaviana Kumala Sari”. Ah kukira namaku ternyata Cuma sama nama depannya saja.
Ya Allah... aku gagal lagi. Hanya kepasrahan dan kesabaran yang ada di
pikiranku. Belum rezekinya.
Kutrima kegagalan
ini kembali, tapi aku yakin ada hikmah dan pelajaran yang dapat kupetik dari
semua ini. Pengalaman adalah Guru Terbaik, kita bisa belajar dari kegagalan –
kegagalan itu. Dan perlu belajar lebih giat lagi untuk menambal kegagalan -
kegagalan sebelumnya.
Aku teringat sosok
bu Dila, guru terfavoritku saat SMA, yang membuatku menyenangi dunia tulis
menulis, meskipun berkali – kali gagal tapi rasa suka dengan menulis tak
berhenti di sini saja, ku ingin mencobanya kembali dan belajar kembali.
Bismillah... Akhirnya ku tekuni juga belajar menulis dengan bu Dila
dan beliaupun siap membantuku. ****
Hampir setengah
tahun aku di rumah, hampa hati ini tanpa ilmu, ingin ku melanjutkan studi
kembali dan ku kembangkan bakatku.
Pagi ini aku duduk – duduk di emperan di temani teh tubruk anget
bikinan ibunda tercinta. Selang beberapa saat bu Dilla menghampiri ke gubug
reotku, tumben sekali ada apa gerangan?
“Assalamu’alaikum,,, Marni” salam bu Dilla terhadapku.
“Wa’alaikumsalam Warohmatullahi wabarokatuh” jawabku. “Subhanallah, saya sangat
senang sekali ibu bisa bersilaturahim ke rumah Marni. Mari ibu silakan masuk
dan silakan duduk”. “makasih ya Marni, maksud kedatangan ibu akan memberikan
kabar gembira untukmu.” Kabar gembira apa bu?” tanyaku dengan suasana gembira
pula. “begini ada informasi dari Pusbuk (Pusat Perbukuan) Jakarta, ada
sayembara menulis karya fiksi, dengan tema “Meningkatkan Kualitas Perbukuan
Indonesia dengan Menampilkan Karya – karya Terbaik Anak Bangsa”, bagaimana
Marni, kamu tertarik tidak? Saya lihat perkembanganmu menulis semakin pesat
dari hari kehari, makanya ibu sempatkan datang kesini untuk memberitahumu,
lumayan lho apabila menang dapat beasiswa kuliah S1 di UI bagi lulusan SMA dan
beasiswa S2 bagi lulusan sarjana, katanya kamu ingin melanjutkan kuliah, ini
saatnya Marni.” Kata – kata bu Dila sangat menginspirasi sekali. Ya inilah
saatnya aku bangkit. “baiklah bu, saya
bersedia” kataku bersemangat. “tunjukkan karya terbaikmu!” ****
2 bulan sudah
terlewat, waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan sebuah novel setebal 350
halaman yang berjudul “Sajak Sang Pencari Jejak”. “Alhamdulillah, semoga
berhasil” gumamku. Sebelum ku kirim ke Ibukota, sebelumnya ku perlihatkan
terlebih dahulu pada Ibu dan bu Guru Dilla, untuk mengoreksinya. “bagus, luar
biasa” kata mereka. “InsyaAllah lolos” kata bu Dila, begitupun Ibu tersenyum
bangga terhadapku, meskipun belum terlihat hasilnya. “Ibu rela nduk,
kalaupun nanti kamu menang, dan melanjutkan kuliah di Jakarta, tapi jangan
pernah lupakan keluarga yang di desa” kata ibu. “Iya bu. pasti. nanti kalau
Marni sukses, Marni juga ingin menyekolahkan adik – adik sampai sarjana” kataku
mantap untuk meyakinkan hati Ibu. Semoga dengan kerja yang maksimal ini
menghasilkan hasil yang maksimal pula. Tak henti – hentinya doaku dan Ibu
megalir di setiap – setiap sujudnya, berharap Allah mengijabahi.
3 bulan sudah, ku tunggu hasil dari pusat perbukuan Indonesia,
banyak pertanyaan yang beriringan di benakku. Berhasil atau gagal lagikah?
Lanjut studi kah atau tidak? Selang
beberapa saat. kring... kring... kring, suara bel sepeda terdengar dari luar,
seperti bunyi sepedanya pak pos. “permisi” suara dari luar pintu. Setelah
kubuka “iya, ada apa pak?” tanyaku. “mbak, ini ada surat panggilan untuk mbak
Marni dari Pemerintah Pusat Perbukuan Indonesia supaya menghadiri penyerahan
hadiah secara simbolis,sebagai pemenang sayembara menulis buku fiksi ” Kata pak
pos panjang lebar. Allahu Akbar, subhanallah, aku segera bersujud kepada
Allah,sebagai rasa syukurku, aku tak bisa berkata – kata hanya titikan air mata
yang mengalir dan ibu yang di sampingku merasakan bahagia yang tiada tara.
“terimakasih pak” kataku di sela – sela isak tangis. “silakan di tanda tangani
mbak, sebagai bukti bahwa surat sudah di terima”.****
Alhamdulillah,
akhirnya kubisa melanjutkan study di ibukota tanpa membebani orang tua dan
orang tua pun meridhoinya.dan di sela–sela kuliahku, aku juga bekerja di sebuah
percetakan buku, lumayan hasilnya ku kirim ke desa setiap bulan untuk biaya
sehari–hari dan sekolah adik – adik. Terimakasih Ya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar