BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Masalah
Perkembangan system pendidikan di Indonesia telah melalui
perjalanan sejarah yang cukup panjang seirama dengan pasang surut perjalanan
sejarah bangsa. Jauh sebelum Indonesia mencapai kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945, system pendidikan yang berkembang di Indonesia adalah system pendidikan
tradisional yang sejak awal memang lahir dari tuntutan dan kebutuhan
masyarakat. Pada awal kemerdekaan RI, para pendiri republic yang sebagian besar
adalah para tokoh pendidikan, memusatkan usahanya untuk membangun system
pendidikan nasional sebagai pengganti dari system pendidikan colonial yang
telah berlangsung lebih dari tiga abad. System pendidikan nasional mulai
menampakan bentuknya sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 tentang
Dasar-Dasar pendidikan dan Pengajaran di Sekolah.
Dalam kurun waktu 50 tahun Indonesia merdeka, Indonesia telah
mengalami tiga kali perubahan Undang-Undang, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1950, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
tentang system pendidikan Nasional. Selama kurun waktu tersebut, telah terjadi
berbagai perubahan dan perkembangan, baik dari aspek substansi maupun kekuasaan
dan kewenangan penyelenggaraannya.
Dari aspek substansi, telah terjadi perubahan dan
perkembangan, antara lain tentang tujuan pendidikan, kurikulum, metode
mengajar, penilaian pendidikan terus berlangsung dengan adanya perubahan
rencana pelajaran 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 84, kurikulum
1994, dan kini berlangsung KTSP. Perubahan pada aspek kekuasaan dan kewenangan
penyelenggaraan pendidikan, antara lain tampak pada perubahan system
pendiidikan nasional yang mulanya sentralistik kini menjadi system pendidikan
nasional yang mengalami desentralisasi. Bagian ini akan mengupas satu aspek
yang kini telah, sedang, dan terus akan bergulir, yakni perkembangan
pelaksanaan desentralisasi pendidikan, yang akan menitikberatkan tentang
bagaimana system desentralisasi pendidikan di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian dan
bentuk desentralisasi?
2.
Bagaimana konsep
desentralisasi pendidikan?
3.
Apa tujuan desentralisasi pendidikan
di Indonesia?
4.
Bagaimana pelaksanaan
otonomi daerah dalam dunia pendidikan?
5.
Apa prasyarat keberhasilan
proses desentralisasi pendidikan?
6.
Apa kewenangan pemerintah
pusat dan propinsi di bidang pendidikan?
7.
Bagaimana desentralisasi
pendidikan di tingkat sekolah?
8.
Bagaimana bentuk evaluasi
desentralisasi pendidikan?
9.
Apa kelebihan dan kelemahan
desentralisasi pendidikan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan
bentuk desentralisasi
Pengertian desentralisasi pendidikan menurut Hurst (1985),
bahwa
“the decentralization process implies the transfer of certain function
from small group of policy-makers to a small group of authorities at the local
level” dengan kata lain desentralisasi merupakan proses penyerahan
fungsi-fungsi tertentu dari sekelompok kecil pembuat kebijakan kepada satu
kelompok kecil pemegang kekuasaan pada tataran local. Definisi Hurst tersebut
telah menggambarkan dengan jelas proses penyerahan fungsi-fungsi pemerintahan
yang kemudian diberikan kepada pemerintah daerah.
Menurut Chau (1985: 96-97) merujukkan desentralisasi pada
konsep pendelegasian kekuasaan kepada pemerintah daerah, dengan tujuan
meningkatkan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya. Ia menyatakan “
decentralization
is a certain delegation of power to regional admistration, but with the sole
objective of increased efficiency in the use of resources”.
Dari berbagai definisi di atas, konsep desentralisasi kemudian
dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yakni :
a.
Deconcentration
(Dekonsentrasi)
Typically
transfers tasks and work, but not authority, to other unit within in
organization. (secara tipikal merupakan penyerahan tugas-tugas dan
pekerjaan, tetapi bukan kewenangan kepada unit lain di dalam satu organisai)
b.
Delegation (Delegasi)
Transfers decision-making
authority from higher to lower hierarchical units. However, this authority can
be withdrawn at the discretion of the delegating unit. (menyerahkan
kewenangan dalam penentuan keputusan dari unit organisasi yang lebih tinggi
kepada hierarki organisasi yang lebih rendah, meskipun demikian kewenangan ini
dapat ditarik kembali kepada unit organisasi yang memberikan delegasi)
c.
Devolution (Devolusi)
Transfer
authority to a unit that can act independently, or a unit that can act without
first asking permission. Privatization is a from of devolution in which
responsibility and resources are transferred from public sector institution to
private sector ones. (menyerahkan kewenangan kepada unit organisasi yang
dapat melaksanakannya secara mandiri, atau unit organisasi yang dapat
melaksanakan tanpa harus meminta petunjuk terlebih dahulu. Privatisasi adalah
satu bentuk devolusi yang dalam tanggung jawab dan sumberdayanya telah
diberikan dari institusi sector public kepada institusi sector swasta).
B.
Konsep
desentralisasi pendidikan
Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada Bak Hak
dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah.Pada bagian
ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak
berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program
pendidikan; pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya
dalam penyelenggaraan pendidikan”.
Begitu juga pada bagian keempat Hak dan
Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2) “Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas
tahun”. Khusus ketentuan bagi Perguruan Tinggi, pasal 24 ayat (2)
“Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai
pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian
kepada masyarakat.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup
filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta manajemen pendidikan itu
sendiri. Implikasinya adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi
pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang
mendalam dan meluas tentang trend perkembangan penduduk dan masyarakat untuk
memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak lanjutnya, merancang
sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia yang
Bhineka Tunggal Ika dalam perspektif tahun 2020.
Kemandirian daerah itu harus diawali
dengan evaluasi diri, melakukan analisis faktor internal dan eksternal daerah
guna mendapat suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga dapat
disusun suatu strategi yang matang dan mantap dalam upaya mengangkat
harkat dan martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi
melalui otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif.
C.
Tujuan
desentralisasi pendidikan di Indonesia
Hanson
berpendapat bahwa tujuan desentralisasi adalah :
Ø Mempercepat pertumbuhan ekonomi (accelerated economic
development)
Ø
Meningkatkan efesiensi
manajemen (increased management efficiency)
Ø Distribusi tanggung jawab dalam bidang keuangan (redistribution
of financial responsibility)
Ø
Meningkatkan demokratisasi
mealalui distribusi kekuasaan (increased democratization trough the distribution of power)
Ø Control local menjadi lebih besar melalui deregulasi (greater
local control trough deregulation)
Ø Pendidikan berbasis kebutuhan pasar (market-based education)
Ø Menetralisasi pusat-pusat kekuasaan (neutralizing competing
centers of power)
Ø Meningkatkan kualitas pendidikan (
improving the quality of
education)
D.
Pelaksanaan otonomi
daerah dalam dunia pendidikan
Otonomi pendidikan yang benar harus
bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil harus
selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah didirikan merupakan
institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa
disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang
sewenang-wenang. Berangkat dan ide otonomi pendidikan muncul beberapa konsep
sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan otonomi pendidikan,yaitu
:
1)
Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah
Menurut
Wardiman Djajonegoro (1995) bahwa kualitas pendidikan dapat ditinjau dan segi
proses dan produk. Pendidikan disebut berkualitas dan segi proses jika proses
belajar mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami
pembelajaran yang bermakna. Pendidikan disebut berkualitas dan segi
produk jika mempunyai salah satu ciri-ciri sebagai berikut : a) peserta didik
menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task)
yang harus dikuasai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, diantaranya hasil
belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal); b)
hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehingga
dengan belajar peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat
melakukan sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya (learning and learning),
c) hasil pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan
khususnya dunia kerja.
2)
Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan
Pusat-Daerah
Perlu
dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara Pusat-Daerah menyangkut
pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure) untuk
kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka memberikan
pelayanan publik yang berkualitas. Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan
Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang
syah dengan melakukan pemerataan diharapkan dapat mendukung
pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin. Bila
dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang
miskin, agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
3)
Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan
Perubahan
Pada era
otonom, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah.
Bila pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap
dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerahnya
akan maju. Sebaiknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di
bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan
kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated dan tidak pernah
mendapat momentum yang baik untuk berkembang. Otonomi pendidikan harus mendapat
dukungan DPRD, karena DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat
daerah dalam rangka otonomi tersebut. Di bidang pendidikan, DPRD harus
mempunyai peran yang kuat dalam membangun pradigma dan visi pendidikan di
daerahnya. Oleh karena itu, badan legislatif harus diberdayakan dan
memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik. Kepala
pemerintahan daerah, kota diberikan masukan secara sistematis dan membangun
daerah.
4)
Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat
Kondisi
Sumber Daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruh Indonesia.
Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan,
pakar kampus maupun pakar yang dimiliki Pemerintah Daerah Kota sebagai Brain
Trust atau Think Thank untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai
pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan
juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan
tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang dihadapi
masyarakat.
5)
Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara
Pusat dan Daerah
Pemerintah
Pusat tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah
Pemerintah Pusat hanya diperbolehkan memberikan
kebijakan-kebijakan bersifat nasional, seperti aspek mutu dan pemerataan.
Pemerintah pusat menetapkan standard mutu. Jadi, pemerintah pusat hanya
berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator. Otonomi
pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga
pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan agar berjalan
efektif dan efisien.
E.
Prasyarat
keberhasilan proses desentralisasi pendidikan
Keberhasilan desentralisasi pendidikan setidaknya akan
tergantung pada beberapa factor pendukung. Di bawah ini akan dikemukakan empat
factor penunjang keberhasilan desentralisasi pendidikan, yaitu :
1.
Menerapkan deregulasi,
meningkatkan fleksibilitas melalui penerapan deregulasi merupakan kunci utama
untuk memacu efektivitas desentralisasi pendidikian di daerah dan sekolah.
deregulasi merupakan proses pemangkasan jalur birokrasi yang terlalu ketat dan
panjang. Deregulasi juga berarti menghilangkan rantai birokrasi yang terlalu
banyak. Sebagai system semestinya bukan untuk mempersulit dan memperlambat
proses, tetapi sebaliknya memperlancar proses layanan pendidikan yang
diperlukan oleh masyarakat.
2.
Menerapkan semiotonom atau
melaksanakan desentralisasi secara bertahap dan berkesinambungan.
3.
Melaksanakan kepemimpinan
demokratis dan partisipatif dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
4.
Menerapkan profesionalitas,
transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan.
F.
Kewenangan
pemerintah pusat dan propinsi di bidang pendidikan
Pemerintah pusat masih mempertahankan bentuk-bentuk
kewenangan di dunia pendidikan. Hal ini terlihat jelas pada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah
dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi, khususnya pada pasal 2, butir
11, bidang pendidikan tercantum 10 butir kewenangan yang masih dipegang oleh
pemerintah pusat, di antaranya terdapat tujuh hal yang penetapannya masih
digenggam oleh pemerintah pusat, yaitu :
1.
Menetapkan standar
kompetensi siswa
2.
Menetapkan standar materi
pelajaran pokok
3.
Menetapkan persyaratan
perolehan dan penggunaan gelar akademik
4.
Menetapkan pedoman pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan
5.
Menetapkan persyaratan
penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa
6.
Menetapkan kalender
pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar,
menengah, dan luar sekolah
7.
Mengatur dan mengembangkan
pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta mengatur sekolah internasional.
Pemerintah provinsi memiliki kewenangan sebagai berikut :
1.
Menetapkan kebijakan
penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang dan atau
tidak mampu
2.
Menyediakan bantuan
pengadaan buku pelajaran pokok/ modul pendidikan untuk TK, pendiidkan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah
3.
Mendukung/membantu
penyelenggaraan pendidikan tinggi, selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan
pengangkatan tenaga akademis
4.
Pertimbangan pembukaan dan
penutupan perguruan tinggi, penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai
pelatihan dan/ atau penataran guru.
G.
Desentralisasi
pendidikan di tingkat sekolah
Desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah merupakan satu
bentuk desentralisasi yang langsung sampai ke ujung tombak pendidikan di
lapangan. Jika lembaga dinas pendidikan kecamatan, dan dinas pendidikan
kabupaten/kota lebih memiliki peran sebagai fasilitator dan coordinator proses
pembinaan, pengarahan, pemantauan dan penilaian, maka sekolah seharusnya
diberikan peran lebih nyata dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan.
Bentuk desentralisai pendidikan yang paling mendasar adalah
dilaksanakan oleh sekolah, dengan menggunakan komite sekolah sebagai wadah
pemberdayaan peran serta masyarakat, dan dengan menerapkan manajemen berbasis
sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata di
dalam masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, dalam rangka pemberdayaan dan
peningkatan peran serta masyarakat perlu dibentuk Dewan Pendidikan di tingkat
kabupaten/kota, dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikian, baik di
tingkat kabupaten/kota ataupun sekolah.
Amanat undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti dengan
Keputusan Menteri pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002
tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. dalam keputusan tersebut dengan
jelas disebutkan bahwa peran yang harus diemban Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah adalah :
1.
Sebagai pemberi
pertimbangan
2.
Pendukung kegiatan layanan
pendidikan
3.
Pemantau kegiatan layanan
pendidikan
4.
Mediator atau penghubung
tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah.
Beberapa urusan dalam bidang pendidikan yang secara
langsung dapat diserahkan kepada sekolah adalah sebagai berikut :
1.
Menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan
tata tertib sekolah
2.
Memiliki kewenangan dalam
penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tersedia, fasilitas yang
ada, jumlah guru, dan tenaga admistratif yang dimiliki.
3.
Menetapkan kegiatan
intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang diadakan dan dilaksanakn oleh sekolah.
dalam hal ini, dengan mempertimbangkan kepentingan daerah dan masa depan
lulusnya, sekolah perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan kkurikulum
nasional dengan kemungkinan menambah atau mengurangi muatan kurikulum dengan
meminta pertimbangan kepada Komite Sekolah.
4.
Pengadaan sarana dan
prasarana pendidikan, termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada sekolah,
dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada.
5.
Penghapusan barang dan jasa
dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten.
6.
Proses pengajaran dan
pembelajaran. Ini merupakan kewenangan professional sejati yang dimiliki oleh
lembaga pendidikan sekolah.
7.
Urusan teknis edukatif yang
lain sejalan dengan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS)
merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan kewenangan
sekolah.
H.
Evaluasi
Desentralisasi Pendidikan
Penerapan desentralisasi yang telah berjalan sepuluh
tahun dinilai perlu dikaji ulang. Khusus pada bidang pendidikan perlu ada
evaluasi terkait dampaknya terhadap peningkatan kualitas
pendidikan. Sejak reformasi, desentralisasi diberlakukan hampir di semua
bidang, kecuali pada lima hal, yaitu keuangan, agama, hukum, dan pertahanan.
Sebelum akhirnya ada penambahan bidang, yaitu sektor pendidikan.
Desentralisasi pendidikan merupakan salah
satu model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai proses
pengambilan keputusan dan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas
pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang
belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik secara regional maupun
secara internasional. Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam
suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang
telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air
kita. Hal ini beralasan, karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan”
sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan.
Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung
oleh kekuasaan birokrasi sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan
terkesan semakin buruk dalam era reformasi saat ini. Ironisnya, kepala
sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan
berada pada tempat yang “dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling
berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan
sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun,
mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan
dalam bentuk juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan
obyektif di masing-masing sekolah.
Disamping
itu pula, kekuasaan birokrasi juga yang menjadi faktor sebab dari menurunnya
semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang membangun
dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk
mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun,
masyarakat hanya meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada
sekolah mereka itu. Pada waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan
pendidikan yang berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah
adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senantiasa bertanggungjawab dalam
pemeliharan serta operasional pendidikan sehari-hari. Pada waktu itu, Pemerintah
berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi
sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu.
Namun,
keluarnya Inpres SDN No. 10/1973 adalah titik awal dari keterpurukan sistem
pendidikan, terutama sistem persekolahan di tanah air. Pemerintah telah
mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi
milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik.
Sejak itu, secara perlahan “rasa memiliki” dari masyarakat terhadap sekolah
menjadi pudar bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya
“bertanggungjawab”, mulai berubah menjadi hanya “berpartisipasi” terhadap
pendidikan, selanjutnya, masyarakat bahkan menjadi “asing” terhadap sekolah.
Semua sumberdaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah, dan seolah tidak ada
alasan bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi apalagi bertanggungjawab
terhadap penyelengaraan pendidikan di sekolah.
Berdasarkan
pengalaman empiris tersebut, maka kemandirian setiap satuan pendidikan sudah
menjadi satu keharusan dan merupakan salah satu sasaran dari kebijakan
desentralisasi pendidikan saat ini. Sekolah-sekolah sudah seharusnya menjadi
lembaga yang otonom dengan sendirinya, meskipun pergeseran menuju
sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai
kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak
selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan
duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan
pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat
dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun,
pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi
demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang
jelas dan transparans.
Selanjutnya
desentralisasi pendidikan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah maupun
sekolah untuk mengambil keputusan terbaik tentang penyelenggaraan pendidikan di
daerah atau sekolah yang bersangkutan berdasarkan potensi daerah dan stakeholders sekolah.
Olah karenanya, desentralisasi pendidikan disamping diakui sebagai kebijakan
politis yang berkaitan dengan pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait
dengan banyak hal. Paqueo dan Lammaert menunjukkan alasan-alasan desentralisasi
penyelenggaraan pendidikan yang sangat cocok untuk kondisi Indonesia, yaitu;
(1) kemampuan daerah dalam membiaya pendidikan, (2) peningkatan efektivitas dan
efesiensi penyelenggaraan pendidikan dari masing-masing daerah, (3)
redistribusi kekuatan politik, (4) peningkatan kualitas pendidikan, (5)
peningkatan inovasi dalam rangka pemuasan harapan seluruh warga negara.
Sesuai
dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di bidang pendidikan, pengelolaan
pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keinginan dan tujuan bangsa
Indonesia dalam penyelenggaran pendidikan itu sendiri. Sebagai contoh dalam
pendidikan dasar, propenas menyebutkan kegiatan pokok dalam upaya memperbaiki
manajemen pendidikan dasar di Indonesia adalah:
Ø
Melaksanakan desentralisasi bidang pendidikan secara
bertahap, bijaksana dan profesional, termasuk peningkatan peranan stakeholders sekolah;
Ø
Mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan secara
desentralisasi untuk meningkatkan efesiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan
dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat;
Ø
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan, seperti diversifikasi penggunaan sumber daya dan
dana;
Ø
Mengembangkan sistem insentif yang mendorong
terjadinya kompetensi yang sehat baik antara lembaga dan personil sekolah untuk
pencapaian tujuan pendidikan
Ø
Memberdayakan personil dan lembaga, antara lain
melalui pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga profesional.
Ø
Meninjau kembali semua produk hukum di bidang
pendidikan yang tidak sesuai lagi dengan arah dan tuntutan pembangunan
pendidikan; dan
Ø
Merintis pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi
mengajar di daerah untuk meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara
independen.
Atas
dasar amanat seperti yang dirumuskan dalam propenas di atas, maka sangat jelas
bahwa tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan sistem pendidikan secara
desentralistik terkesan sangat kuat. Dengan sistem ini pendidikan dapat dilaksanakan
lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, di mana proses
pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang paling dekat dengan
proses pembelajaran (kepala sekolah, guru, dan orang tua peserta didik). Adanya
otonomisasi daerah yang sekaligus disertai dengan otonomi penyelenggaraan
pendidikan atau desentralisasi pendidikan, hendaknya dapat mencapai sasaran
utama progam restrukturisasi sistem dan manajemen pendidikan di Indonesia.
Restrukturisasi dimaksud antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:
Ø
Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan
dinamis, mencerminkan desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Ø
Sarana pendidikan dan fasilitas pembelajaran dibakukan
berdasarkan prinsip edukatif sehingga lembaga pendidikan merupakan tempat yang
menyenangkan untuk belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolah raga
serta menjalankan syariat agama.
Ø
Tenaga kependidikan, terutama tenaga pengajar harus
benar-benar profesional dan diikat oleh sistem kontrak kinerja.
Ø
Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu pada
penerapan sistem pembelajaran tuntas, tidak terikat pada penyelesaian target
kurikulum secara seragam per catur wulan dan tahun pelajaran
Ø
Proses pembelajaran tuntas diterapkan dengan berbagai
modus pendekatan pembelajaran, peserta didik aktif sesuai dengan tingkat
kesulitan konsep-konsep dasar yang dipelajari.
Ø
Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan
perlu diterapkan di setiap lembaga pendidikan sebagai konsekuensi dari
pelaksanaan pembelajaran tuntas.
Ø
Dilakukan supervisi dan akreditasi. Supervisi dan
pembinaan administrasi akdemik dilakukan oleh unsur manajemen tingkat pusat dan
provinsi yang bertujuan untuk mengendalikan mutu (quality control).
Sedangkan akreditasi dilakukan untuk menjamin mutu quality assurance)
pelayanan kelembagaan.
Ø
Pendidikan berbasis masyarakat seperti pondok
pesantren, kursus-kursus keterampilan, pemagangan di tempat kerja dalam rangka
pendidikan sistem ganda harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
Ø
Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost dan
subsidi pendidikan harus didasarkan pada bobot beban penyelenggaraan pendidikan
yang memperhatikan jumlah peserta didik, kesulitan komunikasi, tingkat
kesejahteraan masyarakat dan tingkat partisipasi pendidikan serta kontribusi
masyarakat terhadap pendidikan pada setiap sekolah.
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa desentralisasi pendidikan
pada hakekatnya berkorelasi positif terhadap peningkatan mutu lulusan lembaga
pendidikan dan efesiensi pengelolaan pendidikan. Apabila sekolah dapat dikelola
dengan optimal oleh personalia yang profesional, pengambilan keputusan
dilakukan oleh pihak-pihak yang lebih dekat dan tahu tentang kebutuhan dan
potensi sekolah, maka mutu pendidikan akan semakin menunjukan pada tingkat
maksimal sesuai yang diharapkan.
I.
Kelebihan dan
kelemahan desentralisasi pendidikan
Berikut kelebihan dari desentralisasi pendidikan :
1)
Peningkatan mutu, yaitu dengan kewenangan yang dimiliki sekolah maka sekolah
lebih leluasa mengelola dan memberdayakan potensi sumber daya yang dimiliki
2)
Efisiensi Keuangan hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber
pajak lokal dan mengurangi biaya operasional
3)
Efisiensi Administrasi, dengan memotong mata rantai birokrasi yang panjang
dengan menghilangkan prosedur yang bertingkat-tingkat
4) Perluasan
dan pemerataan, membuka peluang penyelenggaraan pendidikan pada daerah pelosok
sehingga terjadi perluasan dan pemerataan pendidikan.
Adapun kelemahan yang mungkin timbul dalam
implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan melalui UU Otonomi Daerah
adalah :
1)
Kurang siapnya SDM pada daerah terpencil
2)
Tidak meratanya pendapatan asli daerah,
khususnya daera-daerah miskin
3)
Kurangnya perhatian pemerintah maupun
pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan
pendidikan
4)
Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati,
Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan
sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan
belum menjadi prioritas utama
5)
kondisi dan setiap daerah tidak memiliki
kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan
sarana, prasarana dan dana yang dimiliki.
BAB III
PENUTUPAN
A.
Simpulan
Proses desentralisasi pendidikan di
Indonesia sedang berjalan dengan mencari bentuk yang diinginkan. Oleh karena
itu, tarik ulur kekuasaan dan kewenangan antara unit organisasi di pusat dan
daerah masih terjadi. Hal ini harus dimaknai sebagai proses penyelarasan dan
penyesuaian, agar desentralisasi pendidikan pada akhirnya dapat menemukan
bentuk yang dapat disepakati baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun
pihak sekolah.
Berdasarkan uraian tersebut, tampak nyata
bahwa dewasa ini masih diperlukan adanya kejelasan tentang kekuasaan dan
kewenangan semua unit organisasi, dari pusat sampai ke sekolah. hal ini amat
diperlukan agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi tumpang tindih dan tabrakan
antara unit organisasi. Selain itu, kejelasan tentang kekuasaan dan kewenangan
untuk masing-masing unit organisasi itu diperlukan dalam rangka efisiensi.
B.
Saran
1)
Sistem desentralisasi hendaknya lebih
diperhatikan dan ditegaskan oleh pemerintah, agar guru tidak hanya sebagai
bahan percobaan diadakannya sisitem pendidikan.
2)
Sistem desentralisasi pendidikan merupakan
konsep otonomi sekolah, yang mengedepankan adanya semua hal diberikan wewenang
kepada sekolah, tetapi dengan masih adanya sistem sentralistik pada ujian
nasional, yang menentukan kelulusan siswa hanya ujian nasional. Hendaknya
pemerintah harus lebih mengedepankan wewenang sekolah dalam penentuan kelulusan
siswa.
3)
Harus lebih ada kejelasan kekuasaan dan
wewenang dari pemerintah untuk sistem desentralisasi
4)
Dengan adanya perubahan sistem pendidikan
yang akan diganti menjadi kurikulum 2013, hendaknya ada kesinambungan antara stakeholder
sekolah/ pendidikan dan pemerintah ada kerjasama yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis
Sekolah: Konsep Strategi, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Salim Agus, Indonesia Belajarlah! Membangun
Pendidikan Indonesia, 2007, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sam M. Chan
dan Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan
Era Otonomi Daerah, 2005, Jakarta: Rajawali Pers.